08
Feb
08

Menanam Kebaikan


Alkisah, di suatu kerajaan, sang raja merasa masygul. Ia merasa hatinya gundah. Semenjak ia melanjutkan tugas dan tanggung jawab ayahandanya untuk memerintah dan mengatur agar seluruh rakyat dapat hidup aman, tenteram dan sentosa, ia telah berusaha sebaik-baiknya tetapi akhir-akhir ini ia merasa jenuh.
Semua bebannya yang ditanggungnya dirasakan demikian berat, dan hidup menjadi rutinitas tiada akhir dan membosankan. Sehingga ia memutuskan untuk berlibur, menikmati hidup bukan sebagai raja melainkan sebagai rakyat jelata, sekaligus untuk melihat-lihat dari dekat hasil jerih payahnya selama ini.
Sepanjang masa liburnya, raja sebenarnya cukup terhibur melihat kemajuan kerajaannya. Ia dapat melihat bahwa rakyatnya hidup berkecukupan, pemerintahan berjalan dengan cukup baik, walaupun ada hal-hal yang masih bisa ia sempurnakan. Tetapi, entah mengapa, semakin ia nikmati liburannya, rasanya semakin malas ia untuk kembali ke istana.
Suatu hari, ia singgah di suatu daerah dan entah kenapa, ia tertarik kepada seorang pemuda yang sedang menanam pohon. Pemuda itu bertubuh kekar dan kuat, tetapi ketika bekerja, ia tampak lemas dan tak bersemangat.
Setelah mengucap salam, sang raja bertanya kepada sang pemuda.
“Hai kawan, engkau tampak lelah, apakah engkau sakit ? Siapakah yang memaksamu untuk tetap bekerja dalam kondisi sakit ?”
“Saya tidak sakit tuan, hanya saya tidak menyukai pekerjaan ini” jawab sang pemuda. “Aku membantu ayahku untuk menanam tiga ratus pohon zaitun. Jikalau bukan karena ayahku, aku tak akan melakukannya. Bayangkan, tiga ratus pohon zaitun? Belum juga seratus pohon, aku sudah tak ingin melakukannya lagi” keluh sang pemuda.
“Dimana ayahmu? Mungkin aku bisa bicara dengannya..” .
“Beliau ada di belakang bukit ini” ujar sang pemuda sambil menggerakkan tangannya menunjukkan arah. Raja segera bergegas ke belakang bukit, tetapi sesampainya ia disana, ia tertegun. Dilihatnya, pohon yang telah ditanam jauh lebih banyak dari sang pemuda padahal sang ayah ternyata sudah renta, Dan ia bekerja penuh semangat.
Kagum, raja menghampirinya. Seraya mengucap salam, raja bertanya
“Wahai orang tua, engkau demikian bersemangat sekali. Apa yang engkau tanam?”
“Saya sedang menanam pohon zaitun” jawab sang kakek.
“Sebanyak ini? Untuk apa? Lagipula, bukankah pohon zaitun baru berbuah 6-7 tahun kemudian ? Melihat usia kakek, mungkin kakek tidak bisa lagi mengunyah dan menikmati buahnya, lantas apa untungnya?” Raja semakin heran.
“Tuan mengajukan pertanyaan yang sama seperti anak saya” ujar sang kakek sambil menghela napas. “Tuan mungkin telah berjumpa dengan anak saya, ia anak yang baik, walau ia tak mengerti sepenuhnya alasan saya, tapi ia tetap membantu karena tak ingin saya mengerjakan semuanya sendirian. Tuan, saya memang tidak berniat untuk merasakan manfaat dari pohon yang saya tanam ini. Saat pohon ini berbuah, belum tentu saya masih hidup. Saya menanam pohon-pohon ini, karena buah zaitun yang selama ini saya nikmati juga berasal dari pohon yang ditanam oleh orang sebelum saya. Saya ingin membalas kebaikan mereka dengan menanam kebaikan yang sama. Membayangkan buah zaitun yang berlimpah yang bisa dinikmati banyak keluarga, pohon yang hijau dan rindang yang memberikan naungan dari terik dan hujan, minyak zaitun yang memberi manfaat, semua itu membuat saya bersemangat untuk menanam pohon sebanyak yang saya bisa”.
Raja tercenung mendengar jawaban sang kakek. Ia tak hanya melihat ketulusan dan kebaikan hati sang kakek, ia juga melihat perbedaan motivasi yang menggerakkan sang pemuda dan ayahnya itu. Sementara sang pemuda melihat pekerjaan tsb sebagai beban yang harus ditanggungnya, ayahnya terdorong oleh gambaran indah dari hasil yang akan dicapainya.
Diakuinya, ia juga melakukan hal yang serupa dengan sang pemuda. Walau ia berusaha memerintah dengan sebaik-baiknya, itu semua dilakukan untuk menghormati kebesaran ayahnya, raja terdahulu dan agar warisan ayahnya tetap terjaga
dengan baik. Itu semua adalah beban yang harus ditanggungnya sebagai penerus tahta. Tapi, kini ia bisa melihat bahwa semuanya terserah dirinya, apakah ia memilih melihatnya sebagai beban, atau fokus pada gambaran indah yang bisa dicapainya. Raja tersenyum dan berkata
“Wahai orang tua, ketahuilah bahwa aku sebenarnya adalah Rajamu. Kebaikanmu telah mengajarkan aku. Sebagai ungkapan rasa terima kasihku, terimalah hadiah dariku” lantas ia memberikan sekantung uang dirham kepada sang kakek. Dengan hormat, kakek itu menerima hadiah tersebut, tersenyum dan berkata,
“Wahai Tuan Raja, tadi engkau bertanya “apa untungnya”. Lihatlah, belum juga selesai hamba menanam, walau bukan buah dari pohon yang saya tanam, Kebetulan hari ini saya mendapatkan rejeki (akibat imbalan) dari perbuatan yang saya lakukan melalui tangan Paduka”.
Raja kembali tertegun, ia memang tidak percaya apa yang disebut “kebetulan”, karena kebetulan hanya mungkin timbul dari ketidakteraturan murni (pure chaos), sementara pengalamannya mengajarkan bahwa problem paling kusut pun memiliki pola-pola keteraturan yang memungkinkannya untuk diuraikan.
Bukanlah kebetulan kalau hari ini ia bertemu orang tua istimewa itu, dan bukanlah kebetulan pula jika kebaikannya diganjar sepundi uang melalui perantaraan dirinya. A lantas memeluk kakek itu. “Terima kasih atas pengajaran tuan” ujarnya.
Hari itu juga raja kembali ke istana, langkahnya ringan dan hatinya senang. Tekadnya makin mantap, untuk segera menanam kebaikan-demi kebaikan.
Moral of the Story :
Adalah keputusanmu, pilihanmu sendiri, apakah hidup untuk menanggung beban, atau mengejar tujuan.
Kebaikan yang engkau terima saat ini, berasal dari buah kebaikan yang telah kamu lakukan
Lakukan lah banyak perbuatan kebajikan dengan tulus maka kamu akan mendapatkan akibat kebajikan yang jauh dari kamu perkirakan.
Ingatlah Bila kita menanam bibit sebab yang baik, kita juga akan menerima akibat imbalan yang baik juga.


0 Tanggapan to “Menanam Kebaikan”



  1. Tinggalkan sebuah Komentar

Tinggalkan komentar


Februari 2008
S S R K J S M
 123
45678910
11121314151617
18192021222324
2526272829